Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

5 Mitos Tentang Kesehatan Pribadi

KOMPAS.com - Hasil riset dari para pakar bisa menjadi referensi kesehatan pribadi.

Bisa berkaitan dengan kesehatan personal, atau keluarga terutama anak-anak.

Lima studi terbaru berikut ini bisa menjadi salah satu pilihan referensi menemukan fakta termasuk menangkal mitos yang berkembang selama ini.


Catatan pentingnya, dari setiap studi jika muncul korelasi, sebaiknya tidak dipahami sebagai hubungan sebab akibat.
Artinya, kalau hasil studi menemukan adanya korelasi antara dua hal, bukan berarti satu hal menyebabkan hal lainnya.

1. Jurnal perilaku adiktif: Olahraga bantu ibu hamil berhenti merokok.
Studi terdahulu mengungkapkan olahraga bisa mengatasi kecanduan nikotin, namun masih belum jelas apakah temuan ini juga berlaku untuk ibu hamil.

Studi terbaru dari Kanada memberikan jawabannya. Studi ini mengungkapkan dengan jalan kaki 15 sampai 20 menit, dengan fase ringan hingga sedang, bisa membantu menangkal kecanduan.

Untuk menghasilkan temuan ini, para peneliti melibatkan 30 wanita hamil pada trimester ketiga, yang merokok lebih dari lima batang rokok sehari dan tidak berolahraga rutin.

2. Jurnal pediatrik: ASI ditambah makanan padat bisa mencegah alergi?
Alergi makanan pada anak menjadi perhatian serius para orangtua di Amerika. Banyak orangtua berupaya mencari pencegahannya.

Studi terbaru mengungkapkan bayi yang menyusu dan mulai mengonsumsi makanan padat, lebih terlindungi dari bahaya alergi makanan.

Para peneliti menemukan insidensi alergi makanan yang lebih rendah pada bayi ASI yang mulai makan makanan padat. Mereka menerangkan bahwa jika balita mencerna makanan padat dan ASI, sistem imun tubuh mereka memahami bahwa makanan padat tersebut aman untuk tubuh.

"Teori saya, jika makanan yang menjadi alergen (pencetus alergi) tidak masuk ke tubuh bersamaan dengan ASI, maka ASI tidak bisa mengedukasi sistem imun tubuh," ungkap ketua tim peneliti Kate Grimshaw, spesialis alergi di Universitas Southampton.

3. Jurnal sains: pria hanya butuh dua gen untuk bereproduksi.
Ahli biologi sejak lama menyatakan kromosom Y menjadi penentu jenis kelamin pria dalam proses reproduksi. Namun masih banyak yang bisa dipelajari dari kromosom Y ini.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pria hanya butuh dua gen dari kromosom Y untuk bisa membuahi sel telur, demi memiliki keturunan.

Meski penelitian ini baru terbukti pada tikus jantan, para peneliti merasa yakin temuan ini bisa membantu pria yang sedang menjalani terapi kesuburan. Dengan menyuntikkan hanya dua gen saja dari kromosom Y, pria yang mengalami masalah infertilitas karena tidak bisa memproduksi sel sperma sehat, berkesempatan memiliki anak.

"Hanya dua gen dari kromosom Y yang diperlukan untuk memiliki anak dengan bantuan dalam proses reproduksi," jelas peneliti, Monika Ward, ahli biologi reproduksi di University of Hawaii, Honolulu.

Meski begitu, Ward mengatakan bukan berarti gen lain pada kromosom Y, tidak berguna. Untuk reproduksi normal, seluruh kromosom barangkali diperlukan.

"Kami tidak bermaksud menghilangkan kromosom Y pada pria. Kami hanya ingin mengetahui berapa banyak kromosom Y yang diperlukan dan peruntukannya," jelas Ward.

4. Jurnal komputasi biologi PLOS: menunggu rasa sakit lebih menyakitkan.
Tidak ada satu pun orang yang nyaman dengan rasa sakit. Namun, saat kita tahu rasa sakit itu akan datang, biasanya kita ingin segera mengakhirinya secepat mungkin.

Para peneliti di London melakukan dua eksperimen sederhana melibatkan 35 relawan. Eksperimen ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana rasa sakit memengaruhi seseorang dalam membuat keputusan. Partisipan studi ini diminta untuk memilih kapan mereka ingin menerima kejutan listrik dengan intensitas bervariasi.

Kebanyakan partisipan lebih memilih mengalami kejutan listrik sesegera mungkin dibandingkan menundanya lebih lama. Bahkan, partisipan lebih memilih kejutan listrik lebih kuat dengan catatan durasinya lebih cepat.

"Mengantisipasi rasa sakit sangat tidak menyenangkan, ketimbang rasa sakit itu sendiri," para peneliti menyimpulkan.

5. Jurnal PLOS ONE: otak kiri tak selalu berkaitan dengan kemampuan menganalisa.
Seringkali, kepribadian seseorang dikaitkan dengan fungsi otak kiri atau kanan yang lebih kuat. Ketika seseorang tidak memiliki kemampuan analisa tinggi atau kurang detil dalam melakukan sesuatu, ia dianggap memiliki kelemahan dengan otak kirinya. Sedangkan saat seseorang kreatif, otak kanan selalu menjadi kebanggaan.

Peneliti di University of Utah menyatakan seseorang tidak memiliki otak kiri lebih kuat atau otak kanan lebih kuat, atas kemampuan berpikirnya yang tajam atau kreativitasnya yang tinggi.

Untuk membuktikannya, para peneliti saraf memindai otak 10.000 orang usia 7-29 tahun untuk menemukan hipotesis yang lebih baik. Hasilnya, mereka tidak menemukan bukti yang bisa menguatkan mitos otak kanan dan otak kiri tersebut. Tidak ada bukti seseorang memiliki otak kanan lebih baik atau sebaliknya.

Aktivitas tertentu membuat salah satu otak Anda bekerja lebih keras daripada otak satunya.

"Komunitas sains saraf tidak pernah menerima anggapan bahwa otak kiri lebih dominan atau otak kanan lebih dominan terkait kepribadian seseorang. Kenyataanya adalah sangat tidak efisien ketika satu sisi otak secara konsisten lebih aktif dibandingkan sisi satunya," terang ketua tim peneliti Jeff Anderson.

Sumber :
http://health.kompas.com/

Posting Komentar untuk "5 Mitos Tentang Kesehatan Pribadi"